Selasa, 10 Maret 2009

MBAH BANDIAH

Ingatanku menerawang pada Oktober 2005, saat pertamakali aku mulai pindah ke rumah baru di Gambirsari ini. Lukas dan Yulianto mengusulkan agar aku mulai membuka persekutuan dengan kelompok sel. Salah seorang yang diundang pertamakali datang dalam kelompok sel adalah Mbah Bandiah. Dulu ia kukenal dengan nama Mbah Mitro, sesuai nama suaminya, Mitro Semito.
Orangtua ini diperkenalkan sebagai orang yang suka bersungut-sungut dan selalu meminta pertolongan orang lain. Ia selalu menyatakan dirinya sakit dan hidup dari belaskasihan para tetangga. Alhasil, banyak sekali tetangganya yang menjedi jengkel oleh ulahnya. Karena itu, keluhan-keluhannya menjadi bahan perbincangan basi yang hangat. Dan akupun mendapat warning dari beberapa orang tentang beliau.
Beberapa saat kemudian, Mbah Bandiah sudah masuk dan dibaptis di GBI Keluarga Allah, menjadi jemaat Obaja Tanto Setiawan. Ia juga rajin ke gereja dan persekutuan. Tetapi, tidak seorangpun jemaat GBI Keluarga Allah yang datang membezuk, saat ia sakit sekalipun. Hanya aku dan kelompokku, juga Bu Sri, PKS (Pemimpin Kelompok Sel)nya. Lalu, Mbah Bandiah bersaksi bahwa ia pernah mengalami kematian. Beberapa tahun yang lalu, ia mengalami mati selama hampir 2 jam. Saat itu ia keluar dari tubuhnya dan masuk dalam dunia yang sangat gelap. Dalam kebingungannya di dunia gelap itu, datang dua orang membawa suluh dari depan. Kemudian datang lagi dua orang dari belakang. Itulah malaikat-malaikat, katanya. Mereka hitam, besar dan menakutkan. Lantas ia dibawa malaikat-malaikat itu masuk dalam suatu ruangan dimana banyak orang telah berdiri berjejer menunggu giliran. Dalam antrian itu, ia melihat bayi yang dicelupkan dalam minyak panas, melepuh dan kemudian diangkat; kembali jadi bayi, dicelupkan lagi, demikian berulang-ulang. Ada juga orang yang dipentungi kepalanya, dibakar hidup-hidup dan banyak lagi siksaan lainnya. Saat tiba gilirannya, ia mulai meronta dan malaikat petugas siksa itu mengatakan, "Kowe ngopo nangkene iki? Bali kono! Enek sing ora ikhlas kowe mrene. (Kenapa kamu ada di sini? Kembali sana! Ada yang ndak ikhlas kamu kemari)" Lalu ia siuman dan mendapati adiknya berteriak-teriak memanggil namanya. Karena itulah ia menjadi Kristen dan tidak mau masuk tempat siksa itu.
Suatu ketika aku merasa ditegur Tuhan karena menelantarkan Mbah bandiah yang sedang sakit. Saat itu terngiang dalam benakku Yakobus 2:14-18 yang intinya, "Jangan hanya bisa bicara tetapi tidak bisa melakukannya" dan itu identik dengan menganjurkan Mbah Bandiah makan makanan bergizi supaya kesehatannya terjaga, tetapi tidak memberikan makanan bergizi itu kepadanya. Sama saja menghina dia, karena ia tidak dapat menyediakan makanan bergizi itu dengan tangannya sendiri. Mbah Bandiah terlalu miskin dan disia-sia oleh suaminya. Saat itu, ia hidup sendiri terpisah dari suami dan anak tirinya.
Beberapa orang bercerita, suami Mbah Bandiah, Mbah Mitro Semito adalah suami sah dan mereka menikah resmi setelah Mbah Mitro Semito menduda. Karena tidak bisa mengurus putra yang masih kecil sendirian, Manto, maka mbah Mitro butuh pendamping. Kata orang, masa mudanya Mbah Bandiah sangat cantik dan digandrungi para lelaki. Tapi, setelah anaknya besar, Mbah Bandiah dibiarkan tinggal sendirian, tidak pernah diurusi baik oleh suami maupun anaknya. Sampai muncul pameo, nom e gelem, tua ne moh (mudanya mau, tuanya ditolak).
Kondisinya lebih memprihatinkan lagi saat ia sakit. Jadi, demi melakukan Firman Tuhan, maka setiap pagi kami (aku, Charlie dan Mbak Ni) secara bergiliran mengantarkan makanan, berupa bubur, atau makanan-makanan yang keluarga kami santap setiap hari. Apa yang kami makan, selalu kami sisihkan untuk Mbah Bandiah. Sampai suatu pagi, nasi yang juga masih kumakan, memang agak berbau basi karena dandangnya yang tercemar, kami berikan juga kepada si Mbah Bandiah. Sebenarnya nasinya belum basi, tapi karena dandangnya yang tercemar dan tidak pernah dicuci, maka bau basi cukup menyengat. Dasar Mbah Bandiah, ia lalu mengatakan kepada semua orang bahwa kami memberinya nasi basi. Ia lupa bahwa selama hampir 2 minggu selalu diberikan nasi dan lauk yang terbaik yang juga kami santap. Pagi itu, nasi yang kami berikan juga adalah nasi yang kami makan. Jadi, sejak saat itu, kami berhenti memberikan bantuan makanan apapun kepada orangtua rewel ini.
Pada saat terakhir hidupnya, hari Kamis, 05 Maret 2009 yang lalu aku secara mendadak mengunjunginya. Padahal sebelumnya aku sungkan melakukannya. Bukan karena insiden nasi basi, tapi karena ada seorang pencemooh, Yakub Sugito dan keluarganya, yang mulai buka warung di depan rumah Mbah Bandiah, di lincak Tunggul Wulung. Setiap aku lewat melangkah ke kavlingan, lokasi rumah Mbah Bandiah, selalu dijadikan bahan cemooh olehnya. Ia selalu mengasumsikan aku sebagai sinterklas yang bodoh dan pilih kasih. Atau jika ia tahu ada orang yang datang ke rumahku, selalu diperbincangkan sebagai orang yang bermotivasi mencari uang, atau bantuan, karena sebenarnya ia sendirilah yang punya motivasi keliru itu. Saat itu, kunjunganku atas kehendak Tuhan. Aku masuk dan melihat Mbah Bandiah dalam posisi yang sekarat. Aku menawarkan untuk mengantarnya ke rumah sakit, tetapi ia menolak karena takut tidak bisa membayar dan merepotkan orang untuk menunggunya di rumah sakit. Untuk urusan dana, aku yakin PKMS silvernya cukup. Kalaupun kurang, aku siap mencarikan kartu PKMS gold untuknya. Aku juga yakin bahwa Tuhan akan turut campur tangan. Namun yang jelas, tidak mungkin membiarkan ia meninggal tanpa ada sedikitpun usaha untuk menolongnya.
Pada saat pertemuan persekutuan kami pada hari Jumat, 06 Maret 2009, aku menawarkan kepada kelompokku untuk turut serta memikirkan keberangkatan Mbah Bandiah ke rumah sakit. Maksudku, mungkin ada dari mereka yang bersedia menunggu dia di rumah sakit. Tapi, tidak ada respon. Tidak ada yang bersedia melakukannya untuk sang orangtua terlantar, seperti gerejanya yang sama sekali juga tidak pernah tahu kondisi jemaatnya. Malam itu, hanya ada keputusan bahwa jam 08.00 pagi pada hari Sabtu 07 Maret 2009 kita kumpul di rumah Mbah Bandiah dan tugas Yulianto menegaskan agar Mbah Mitro bersedia menunggu isterinya di rumah sakit, sementara aku menemui pembina PDIP ranting Gambirsari untuk klarifikasi dana PKMS. Tugas itu sudah kuselesaikan malam itu juga. Jadi, untuk biaya, tidak ada beban lagi, sehingga semakin tebal keyakinan bahwa Tuhan menghendaki ia digotong ke rumah sakit.
Besoknya, Sabtu, 07 Maret 2009 jam 08.00, tidak ada seorangpun yang datang, kecuali Yulianto dan Mbah Sudirjo yang kami tunjuk sebagai penilik jemaat. Ari memang hadir, tapi terlambat. Yulianto yang ditugasi matur (ngomong ke) Mbah Mitro agar mau menunggu Mbah Bandiah di rumah sakit, gagal total. Mbah Mitro tidak bersedia dengan alasan bahwa ia sendiri sakit, padahal ia masih bisa pergi kemana saja yang dikehendakinya. Dalam kebingungan dan rasa jengkel, Yulianto menyatakan bahwa Mbah Bandiah dibiarkan meninggal di situ. Tapi, aku, yang yakin bahwa Tuhan menghendaki ia dibawa ke rumah sakit, memutuskan bahwa sekalipun tidak ada yang mau menunggu, biarlah aku berkorban menjaga si pasien. Untung akhirnya Yulianto menemukan penjaga pasien, Mbak Ninil, anak Pak Yamto, anggota persekutuan.
Setelah memperoleh surat rujukan Puskesmas, kami berangkat ke RSUD Muwardi, Jebres Solo. Masuk IGD (instalasi Gawat Darurat) dan 6 jam kemudian (jam 15.00) Mbah Bandiah dirujuk ke ICCU (Intensive Cor Care Unit). Dokter menyimpulkan bahwa jantungnya telah membengkak melampaui 80% rongga dadanya. Kekuatan pompa juga telah sangat menurun dan ia harus masuk di ICU (Intesive Care Unit) bagian jantung. Ini pertanda buruk bagiku. Ia pasti tidak akan membaik sama sekali. Nafasnya juga tersengal-sengal dan sangat dalam.
Jam 15.00 sampai di ICCU dan alat monitor dipasang. Obat disuntikkan dan ia merasa sudah baikkan dan mau pulang. Besok, katanya. Dia merasa badannya tidak lagi sakit, sehingga ia minta pulang. Hal itu tidak mungkin. Tidak biasanya pasien ICU boleh langsung pulang, tapi harus melalui rawat inap dulu di ruangan. Dan benar. Minggu, 08 Maret 2009, Mbah Bandiah mendadak mendapat serangan stroke. Nadinya menghilang dan dokter harus melakukan kejutan listrik untuk memacu jantungnya. Itu terjadi jam 08.00 WIB.
Saat itu, kami telah bersiap ke gereja. Memang rencanaku, aku mau menggantikan Mbak Ninil dan membiarkan Mbak Ninil beristirahat sejenak. Tapi tiba-tiba penunggu Mbah Bandiah ini muncul dan berteriak mengatakan bahwa Mbah Bandiah Kritis dan sedang dilakukan upaya pacu jantung. Panik, aku segera ke rumah sakit bersama Mbak Ninil. Saat itu, tensi sistole Mbah Bandiah mencapai 200 mmHg dan terus naik dan menjadi 201 mmHg. Sementara diastolenya mencapai 120 mmHg.
Seketika itu juga aku berlutut dan langsung menyanyikan pujian dan penyembahan

Yesus dalam namaMu ku bertelut 3x
Dan mengaku Kaulah Tuhan
Sgala pujian syukur bagiMu
Kau hadir dalam hidupku
Kini kudatang sujud dihadapanMu
MemujiMu menyembahMu
Yesus kumenyembahMu.

Hampir satu jam aku melakukan itu. Lalu, tensinya perlahan-lahan turun menjadi normal. Tapi tiba-tiba, seperti orang tersadar, aku merasa bodoh kalau memohon kesembuhannya. Sebab, kalau ia sembuh, ia akan lumpuh dan siapa yang akan merawatnya? Lantas aku mulai meminta agar Tuhan melakukan yang terbaik. Kalau sembuh, total tanpa stroke. Namun perasaanku mengatakan ia tidak akan sembuh.
Merasa Mbah Bandiah agak baikkan karena tensinya menuju normal, aku beristirahat. Saat itulah Manto dan Nur, anak dan menantu Mbah Bandiah datang. Aku menyingkir, karena Manto masih punya masalah denganku, membohongi uangku Rp. 100.000,00.- (Seratusribu rupiah). Tidak banyak sih, tapi kebohongannya membuat isteriku tidak ikhlas melepaskan uang tersebut. Jadi aku keluar ruangan ICCU itu dan mencoba santai di luar melepas lelah.
Baru juga duduk, Manto datang dengan tergesa-gesa. Angka dalam monitor sudah tidak ada, katanya. Kaget, hampir melompat, tapi kutahan agar tidak berlari. Sampai di ruangan, 2 orang suster jaga sedang melakukan pompa dan aku langsung berlutut dan melakukan doa penyerahan. Aku serahkan Mbah Bandiah ke dalam tangan Tuhan dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Seketika ada rasa puas setelah melakukan tugas gembala sidang itu, lalu kunyanyikan lagu terakhir baginya,

Kuserahkan 2x hidupnya pada Allah
kuserahkan 2x hidupnya pada Allah

Setelah memegang nadinya, suster menyatakan bahwa Mbah Bandiah telah tiada, tepat setelah aku selesai bernyanyi. Pun mboten enten, katanya. Sebuah kelegaan dan aku tidak terlambat. Tuhan buat segala sesuatu tepat pada waktunya. Sekalipun saat itu aku tidak melihat apapun, tapi Tuhan menetapkan dalam hatiku bahwa Mbah Bandiah digandeng sesosok pribadi menjauhi kami.
Sorenya, sekitar jam 16.00 WIB ketika jenazahnya sedang dibersihkan, aku membaringkan diri dalam kelelahan dikamarku yang hangat. Tiba-tiba Tuhan bongkar ingatanku akan wajah Mbah Bandiah yang tersenyum saat aku pergi menjauhinya. Karena setiap aku pulang dari menjenguknya di rumahnya, Mbah Bandiah selalu mengiringi langkah kepulanganku dengan senyum mengembang dan dereten gigi putihnya. Ia biasanya duduk di beranda gubuknya sambil memandang kepergianku. Seolah ia berkata kepadaku saat itu, "Wis pak, bener kata pak Yohanes. Sorga iku kepenak. Ora koyo kolo mbiyen, mlebu neroko. Aku betah pak! Maturnuwun nggih pak! (Iya pak, benar kata pak Yohanes. Sorga itu enak. Ndak kayak dulu, masuk neraka. Aku kerasan pak! Terimakasih ya pak!)" Dan ia pergi semakin jauh dan jauh dan jauh dan menghilang dengan meninggalkan senyuman dalam ingatanku.
Selamat jalan Mbah. Selamat bertemu dengan Tuhanmu, Tuhan kita, Yesus Kristus. Kelak aku akan mengunjungimu, saat Tuhan Yesus datang menjemputku. Selamat berbahagia dan selamat melupakan penderitaanmu. Tuhan memberkatimu dan eh... ya. Selamat ualng tahun. Seumur-umurmu, ulangtahun tidak pernah dirayakan, maka kini ultahmu bersama Yesus. Amin.
Ya, Mbah Bandiah dikuburkan pada tanggal 09 Maret 2009 dalam usia 68 tahun, genap persis pada tanggal saat ia lahir 09 Maret 1941. Ia meninggalkan kesan mendalam sebagai pelajaran yang harus dilakukan anak-anak Tuhan. Hidup sengsara, tidak ada sanak famili, tetapi mati mulia. Semua saudaranya datang melayat jenazahnya yang telah terbujur kaku. Semua tetangga datang melayat memberikan penghormatan terakhir. Mbah yang ngayelke juga dapat mati mulia, di ruang ICCU, dikelilingi suster dan para dokter, dimandikan orang-orang yang dikenalnya dan disambangi semua tetangganya, dihantar sanak kadang dan family ke kuburannya. Puji Tuhan!

1 komentar:

  1. Table of Contents - Titanium Gather Together - The Home
    TITanium titanium rimless glasses Gather Together. ford fusion titanium for sale Tethra-Sriram. 1. Gather Together. 2. Tethra-Sriram. 3. Gather Together. titanium dab nail 4. Tethra-Sriram. 5. babyliss nano titanium flat iron Tethra-Sriram. 6. Gather Together. 7. venza titanium glow

    BalasHapus